Refleksi Mahasiswa Dulu, Kini dan Sekarang Oleh: Romadhon, AS |
Dari dulu kampus memang
tempatnya ilmu, pesta dan cinta. Ada yang bergelut dibidang akademis ada juga
yang hura-hura (hedonis). Ada pula segelintir mahasiswa yang menghabiskan
waktunya hanya untuk kegiatan-kegiatan kebangsaan. Realitas sekarang yang
muncul adalah gaya hedonisme yang semakin marak dikalangan mahasiswa, mulai
dari pakaian yang minim, cara berdandan ria, nyabu dikampusnya, tawuran antar
kelompok mahasiswa hingga nongkong di deskotik maupun café-café yang
mengelilingi kampus.
Jika kita amati ada
sebuah pergeseran orientasi nilai pada generasi muda saat ini. Orientasi nilai
yang mereka utamakan ditunjukkan oleh orientasi materi yang kuat. Kalau kita
kita lihat orang-orang yang sudah kuliah, mereka seperti tante-tante dalam hal
berdandan, selera pakai, sampai “life
style”. Mereka ini lebih berorientasi “bagaimana bisa memperkaya diri,
bahkan dengan jalan yang keluar dari norma-norma kelaziman, cenderung
menghalalkan segala seuatu. Oleh karena itu, sering kita dengar istilah “Camp Fried Chicken”.
Jika kita kaji kembali
persoalan diatas adalah adanya pergeseran nilai dari sisi NCB (National Caracter Building) yang tidak
kontributif dan tidak bertambah karena “National
Identity” yang merefleksikan nila-nilai budaya yang dianut tidak diwujudkan
dalam kehidupan sehari-hari. Kemudian muncullah budaya pragmatisme untuk
menjadi kaya, untuk cepat lulus dan mendapatkan pekerjaan. Ukuran dan
keberhasilan itu adalah bagaimana dia semakin banyak kekayaannya, dan itu
menjadi pandangan yang melekat pada sebagian orang. Ironisnya justru
orang-orang seperti inilah yang menjadi aktivis. Orang yang tidak berorientasi
pragmatis, tidak berorientasi material dan itupun jumlahnya kecil. Hal ini
sudah terjadi sejak dulu, kecuali pada tahun 1974-1978 yang masih relatif
banyak. Pada saat itu mahasiswa sama sekali diberangus pada ranah politiknya
dan pada masa itu mulailah diperkenalkan ujian yang tidak menyebabkan mahasiswa
untuk berpikir yaitu dengan model soal multiple
choise yang membentuk mahasiswa bermental “gambling” sebab dengan sistem
seperti itulah mahasiswa yang tidak mengerti tetap bisa menjawab. Lalu dengan
cara itulah terbentuknya cara berpikir mahasiswa yang pragmatis.
Melihat kondisi diatas,
tidak ada salahnya memberikan definisi sekaligus tipologi mahasiswa saat ini. Mahasiswa
adalah seorang pelajar disebuah perguruan tinggi atau boleh dikatakan mereka
adalah kaum intelektual terdidik yang ditunggu oleh bangsa ini. Bahkan juga
ditunggu masyarakat karena agent of
change yang selalu melekat pada dirinya, karena setiap perubahan yang riil.
Namun pada saat ini sulit sekali untuk merebut gelar sebagai mahasiswa, ada
yang berkeinginan menjadi mahasiswa (kuliah), tapi secara ekonomis kurang
mampu, dan ada juga yang mampu, tapi ketika menjadi mahasiswa dia lupa akan
peran dan fungsinya.
Realitas mahasiswa saat
ini telah mengalami disorientasi peran dan fungsi mahasiswa itu sendiri, kadang
mahasiswa harus merelakan duduk berjam-jam dibangku kuliah sambil mencatat
materi dan ada juga yang asyik dengan segala alat komunikasinya (HP) disaat
kuliah berlangsung.
Tidak sedikit orientasi
mahasiswa masuk perguruan tinggi hanya sebagai batu loncatan agar bisa langsung
kerja dari pada harus berorganisasi atau mengembangkan organisasinya. Seperti
inilah gaya mahasiswa yang memang diciptakan dengan gaya barat (kapitalis),
sehingga dampaknya daya kritis mahasiswa saat ini bisa dikatakan sangat minim
apalagi mereka yang hanya kuliah-pulang kuliah-pulang (kupu-kupu). Sehingga
yang terjadi hanyalah penindasan-penindasan pola pikir mahasiswa menjadi
hedonis yang sistematis.
Sekarang banyak
mahasiswa yang enggan mengembangkan potensinya dalam berbagai organisasi baik
ditingkat universitas, maupun komunitas sosial lainnya. Namun jarang sekali
mahasiswa yang mau berpikir demi kepentingan publik sehingga hal inilah yang
semakin memperpanjang mata rantai permasalahan sosial yang semakin mencekik
kehidupan masyarakat.
Melihat kondisi diatas
itulah, paling tidak ada beberapa tipologi mahasiswa saat ini yang sedang
berkembang antara lain ; 1. Mahasiswa
aktivis, yaitu biasanya mereka ini peka dengan urusan/permasalahan
masyarakat, cepat merespon jika ada isu/fenomena yang terjadi pada masyarakat
lebih-lebih pada kondisi bangsa. Tapi dilain sisi mereka tidak mengabaikan
kewajiban mereka sebagai mahasiswa. Biasanaya tipologi seperti ini cenderung
memiliki “Ground Balancing” antara
penempatan diri dan pengembangan skill antara kuliah maupun ekstrakuliah dan
kebanyakan dari mereka ini diterima dalam dunia profesi yang layak. 2. Mahasiswa organisatoris, yaitu pada
tipe ini mereka hanya mementingkan kegiatan di sebuah organisasi tertentu.
Karena menguntungkan bagi pengembangan dirinya, tetapi tidak menguntungkan bagi
nilai akademisnya. Biasanya mereka cenderung menempatkan organisasi sebagai
pelarian bukan suatu kebutuhan. 3.
Mahasiswa akademis, yaitu biasanya mereka memiliki semangat belajar tinggi,
mengejar nilai bagus dan berusaha sukses dalam hal akademisnya, tetapi biasanya
mereka tidak peduli dengan urusan masyarakat. Artinya mereka mementingkan diri
sendiri, mereka cenderung termakan oleh dunia akademisnya. Sehingga mereka
kebanyakan tidak memiliki pengalaman yang praktis untuk menunjang arah
profesinya dalam dunia kerja. 4.
Mahasiswa hedonis, yaitu pada tipe ini biasanya mereka kuliah hanya untuk
bersenang-senang, pacaran, shoping (konsumeris) atau sikap-sikap yang tidak
mencerminkan sebagai mahasiswa. Mereka larut dalam dunia kesenangan tanpa ada
keinginan untuk mencipta, berkreasi dan melakukan pengembangan diri yang
efektif. Sehingga tidak peduli dengan masa depan maupun masyarakat. Mereka
cenderung kuliah terbengkalai dan tidak dihargai masyarakat.
Tipologi diatas paling
tidak menjadi refleksi bagi mahasiswa maupun calon mahasiswa, mengingat
mahasiswa sangatlah ditunggu untuk memperbaiki peradaban suatu Bangsa.
Pergerakan mahasiswa Indonesia cukup kontributif dalam mengawal setiap aksi
kebijakan. Tantangan yang berat pada kondisi mahasiswa saat ini adalah Miskinnya
bangsa dari guiding ideas (krisis
gagasan kebangsaan), Adanya kelunturan nilai dan budaya ketimuran yang terus
bertambah sesuai perguliran zaman (krisis identitas), Lemahnya pengertian
terhadap tanggung jawab dan kewajiban (krisis kepercayaan dan
kebertanggungjwaban), Kebutuhan akan pemimpin yang layak dan kompeten tidak
pernah tercukupi (krisis kepemimpinan).
Sejarah telah
membuktikan kita, entah berapa banyak pejuang kebenaran dan pembela orang-orang
tertindas yang kemudian akhirnya “kalah”, bukan karena musuhnya, tapi
ketidakmampuan menghadapi dirinya sendiri, padahal perjuangan ini membutuhkan
orang-orang yang “ sudah selesai dengan dirinya”, agar ia bisa memberi. Moga
bermanfaat*