Flash News
Diberdayakan oleh Blogger.
Mail Instagram Pinterest RSS
Siapa Romadhon?

NASIONALISME DAN KARAKTER TAK TERPISAHKAN DARI PEMBELAJARAN

Oleh: Romadhon AS*
Bedah Buku 'Hitam Putih Pendidikan Kita' di Kab. Bangkalan

Dalam Sumarna Surapranata (majalah DIKBUD-edisi mei 2013) yang mengungkapkan bahwa “Pendidikan yang bermutu hanya dapat diraih jika memiliki guru yang bermutu  pula, yaitu guru profesional, bermartabat, dan sejahtera”. Harapan menjadi guru bermutu bukan hanya isapan jempol belaka yang selama ini digaungkan oleh pemerintah. Perlu adanya keterlibatan publik, seluruh ekosistem pendidikan juga harus mengawal bersama-sama dalam membenahi persoalan pendidikan kita, terutama guru sebagai nahkoda dalam memajukan pendidikan Indonesia.

Guru di Era Abad 21 ini seiring  diberlakukannya Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) memiliki tantangan yang multikompleks untuk bersama-sama membenahinya. Tak hanya soal kesejahteraan semata, persoalan fundamental yang mendesak adalah meneguhkan character building. Terutama karakter anak didik yang menjadi PR besar para guru, disamping itu juga dituntut untuk merawat pula Nasionalisme pada setiap insan anak indonesia. Karena dalam kondisi apapun, dimanapun yang berkaitan dengan rasa Nasionalisme pada anak Indonesia sudah menjadi keniscayaan bagi seorang guru.

Sekolah, tentunya turut andil dalam proses pembentukan karakter dan merawat nasionalisme itu sendiri. Terutama sekolah yang dibawah naungan pondok pesantren, sekolah seperti ini, memiliki kekhasan dalam men-design karakter terutama yang telah diajarkan KH. Hasyim As’ari dalam karyanya ‘adabul alim wal muta’allim’ yang menjadi pedoman bagi pesantren. Sekolah dalam lingkungan pesantren juga memiliki segala aktivitas yang tersusun rapi. Mulai bangun tidur hingga tidur lagi. Santri (sebutan siswa dipondok pesantren) telah terbiasa dengan hidup disiplin.

Kedisiplinan yang dimiliki santri tentu telah terbangun dengan ‘apik’ (bagus). Perlu perawatan dalam menjaga kedisplinan agar tak rapuh terutama dalam lingkungan sekolah. Hal ini agar terjadi keseimbangan ‘rasa’ antara di pondok pesantren dan sekolah. Dispilin akan menjadi kunci utama jika semua komponen terlibat aktif dalam proses pengawalan. Pendisiplinan bukan sekedar penegakan suatu aturan, namun juga upaya membangun kesadaran kolektif yang akan menumbuhkan nilai-nilai pembiasaan dalam kehidupan sehari-hari.

Penulis yang juga mengabdikan diri di sekolah yang dibawah naungan pesantren memiliki pengalaman dalam merawat kedisiplinan dan Nasionalisme. Pembiasaan disiplin yang dilakukan penulis cukup berdampak pada peserta didik sejak dimulainya pembelajaran hingga berakhirnya pembelajaran. Sekolah tempat penulis mengabdikan diri merupakan sekolah yang besar (jumlah siswa sekitar 3000 santri) dengan segala kepadatan aktivitas di pondok pesantren. Maka seorang guru harus kaya ide, kaya metode, memiliki responsibility yang kuat, kreatif, dan tetap ada unsur menyenangkan dalam pembelajaran.

Pembelajaran sesuatu hal yang kadang bisa membuat jenuh/bosan  peserta didik. Pembelajaran akan jenuh/membosankan jika suasana kelas (pembelajaran) kurang diminati oleh peserta didik yang diperparah kondisi pendidik yang kurang enerjik, inspiratif dan inovatif. Maka, pesoalan pembelajaran akan menjadi komplek dan ‘amburadul’ mau dibawa kemana kelas tersebut. Pembelajaran tentu harus disiapkan secara matang, baik yang tersirat dalam Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) maupun ide sesaat yang selama tak merusak konsep yang telah tersirat di RPP tersebut. Waktu sangat dimanfaatkan dengan baik oleh keduanya (siswa-guru). Suasana jadi menyenangkan, penumbuhan nilai-nilai disiplin secara tidak sadar sudah mulai terbangun dalam diri anak.

Untuk mengantisipasi hal itu disekolah yang notabene dibawah naungan pesantren, maka penulis melakukan beberapa inovasi dalam pembelajaran salah satunya adalah melakukan pembiasaan untuk membangkitkan rasa Nasionalisme dikalangan santri sekaligus meneguhkan karakter disiplin tersebut. Sebab dengan segala aktivitas di pondok pesantren, santri memiliki keterbatasan terutama soal kejenuhan yang mengakibatkan rasa ‘ngantuk’ yang terbendung. Setiap kali penulis mengajar, saat tiba didepan pintu, seluruh siswa berdiri dengan intruksi ketua kelas mengucapkan kata ‘qiyaman’ (berdiri). Kemudian memberikan salam secara serentak dan dijawab dengan penuh semangat oleh sang pendidik. Hal ini telah mendarahdaging pada diri setiap santri untuk ta’dhim memberikan rasa hormat pada yang lebih tua termasuk sang guru. Ada hal yang bisa kita ambil dari proses ‘qiyaman’ yakni kita bisa melihat kerapian terutama dalam hal berseragam dan lainnya yang ada dalam kelas, seperti sampah, kerapian kursi dan sebagainya. Karena pembelajaran yang nyaman tak hanya bergantung pada metode semata. Kenyamanan dalam kelas, bisa dilihat dari kerapian berseragam, kondisi bangku dan lainnya juga memberikan suasana semangat tersendiri. Mereka akan senang belajar, jika suasana nyaman dan penuh semangat.

Setelah itu, langsung ‘mengumandangkan’ lagu Nasional yang telah ditentukan masing-masing kelas dengan tetap posisi berdiri tegak. Hal ini sebagai wujud menanamkan kecintaan terhadap bangsanya. Lebih tepatnya menumbuhkembangkan nasionalisme sejak bangku sekolah. Apalagi lagu Nasional sudah mulai terkikis oleh lagu pendatang baru (group band) yang secara tidak langsung memarjinalkan moral dan nasionalisme itu sendiri. Lagu Nasional tak sekedar dikumandangkan dikelas, tetapi memiliki nilai-nilai penghayatan dibalik lirik demi lirik dan bait demi bait. Karena setiap lagu Nasioanal memiliki nilai-nilai perjuangan yang dewasa ini harus terpelihara dengan baik hingga anak cucu. Itulah yang sebenarnya esensi dari lagu nasional kita, bukan sekedar lantang, tapi harus memaknai setiap bait dengan penuh hidmat. Ada hal yang bisa kita ambil dari mengumandangkan lagu nasional ini; pertama; kita bisa memberikan spirit (semangat) pada anak didik sebelum pembelajaran dimulai. Hal ini tentu, semangat harus dimulai dari pendidik. Tak akan pernah terjadi semangat pada anak didik, jika kita (pendidik) belum menunjukkan semangat mengajar pada anak didik. Misalnya; menampakkan wajah yang sumringah, Salam, Sapa, Senyum (S3) itulah ragi untuk membangkitkan ‘syahwat’ belajar anak. Kedua; mempopulerkan kembali lagu-lagu nasional dikalangan pelajar. Seiring derasnya lagu-lagu band pendatang baru. Maka hal ini penting agar Nasionalisme lewat lagu menjadi jalur alternatif untuk merawat rasa nasionalisme di era pasar bebas ini atau yang disebut Masyarakat Ekonomi Asean (MEA).

Setelah selesai mengumandangkan lagu nasionalisme. Maka dengan tertib guru dan peserta didik duduk kembali dengan dilanjutkan doa secara bersama-sama yang dipimpin oleh guru. Mengingat sekolah ini berbasis pondok pesantren, tentu doa yang dipilih sesuai arahan dari pengasuh pondok pesantren (doa yang terijazah). Hal ini agar setiap doa bisa diijabah (dikabulkan) oleh Alloh SWT (Tuhan Yang Maha Kuasa) sesuai tata cara orang muslim berdoa. Membiasakan berdoa sebelum melakukan aktivitas, memiliki nilai tersendiri untuk menggugah niat dan menghubungkan dengan Sang Pencipta agar diberikan kesadaran dan kemudahan dalam setiap langkah.

Tak berhenti disini, sebagimana lazimnya, kegiatan apersepsi yang sangat fundamental perlu dilakukan setiap guru. Apersepsi merupakan cara mengingat kembali mata pelajaran sebelumnya (kontekstualisasi) agar peserta didik bisa merefleksikan diri sebelum masuk pada muatan materi yang akan dijarkan. Kegiatan ini tak banyak menghabiskan waktu. Karena memang apersepsi hanya untuk merangsang anak untuk memulai konsentrasi dalam pembelajaran.

Guru sebagai lokomotif penggerak kemajuan pendidikan, tentu akan dimulai dari sekolah. Sekolah sebagai kawah candra dimuka memiliki peran strategis dalam mengembangkan segala potensi anak didik baik secara akdemis maupun non akademis (minat bakat). Sekolah yang efektif ditentukan oleh kondisi, iklim kerja dan kebijakan kepala sekolah dalam rangka memberikan ruang kreatifitas serta pengembangan diri yang optimal pada setipa insane guru. Guru mulia, karena karya.

*Penulis adalah Staf Pengajar Mata Kuliah Bimbingan dan Konseling
di Unikama/Penulis Buku ‘Hitam Putih Pendidikan Kita’ juga konselor SMP An-Nur Bululawang Malang