Flash News
Diberdayakan oleh Blogger.
Mail Instagram Pinterest RSS
Siapa Romadhon?

Sekolah itu Jahat ?


Oleh : Romadhon AS

AKSI: saat orasi dalam rangka memperingati Hari Pendidikan Nasional Tahun 2008

Sebelum penulis bahas tentang sekolah dan pendidikan, ada beberapa pertanyaan yang fundamental saat ini, mengapa dunia pendidikan belum bisa memberikan pengaruh pencerahan ditingkat masyarakat? Lantas apa yang selama ini dilakukan oleh dunia pendidikan kita saat ini? Mengapa kualitas pendidikan di Indonesia tidak lebih baik dari Negara tetangga, bukankah setiap hari ada upaya perbaikan terus dilakukan, mulai dari seminar, pelatihan guru (sertifikasi) hinggga berbagai peraturan pun digulirkan dengan dalih meningkatkan kualitas pendidik dan pendidikan. Kekeliruan paling mendasar dalam pembangunan pendidikan selama sejarah Indonesia modern adalah mempersempit pendidikan hanya sekedar persekolahan belaka. Persekolahan mengubah belajar sebagai proses-proses yang alami menjadi komoditas layanan pendidikan. Begitu belajar mensyarakatkan persekolahan, pendidikan langsung menjadi barang langka by definition. (Danil.M Rosyid)

Padahal pendidikan mempunyai peranan strategis dalam pencaturan hidup suatu bangsa. Melalui pendidikan, suatu bangsa bisa menatap masa depannya. “Berdiri sama tinggi, duduk sama rendah” dengan bangsa-bangsa lain. Kualitas bangsa itu hanya diperoleh melalui pendidikan yang berkualitas. Penididikan telah kehilangan jati dirinya, kemankah jantung pendidikan Indonesia saat ini? Atau mungkin ini yang dimaksud oleh Ivan Illich “sekolah itu lebih berbahaya dari pada nuklir, ia adalah candu, bebaskan warga dari sekolah”. Tentu kalimat itu telah membuat banyak orang terusik dan tidak sedikit yang memaki-maki atas pernyataan Ivan illich tersebut. Jika kita amati program pemerintah dalam hal ini Mendikbud dalam tahun 2015, pemerintah membangun/memperbanyak SMK yang ada di Indonesia dengan perbandingan 30:70. Dimana sebanyak 30% adalah SMA dan 70% adalah SMK dengan harapan mampu mengurangi pengangguran. Sudah jelas bahwa pendidikan dalam hal ini sekolah bukanlah suatu proses untuk mempersiapkan manusia-manusia penghuni rumah besi (pabrik) berpenampilan “elegan”. Apalagi motivasinya hanya menjadi PNS, tetapi lebih dari pada itu pendidikan merupakan upaya bagaimana memanusiakan manusia. Tentu proses tersebut bukan hal yang mudah seperti membalikkan telapak tangan, melainkan butuh komitmen yang kuat dari setiap komponen pendidikan wabil khusus pemerintah bagaimana memposisikan pendidikan sebagai investasi jangka panjang dengan produk manusia-manusia masa depan yang handal, kritis, cerdas, beradab dan bertanggungjawab. Jika dunia pendidikan hanya diposisikan sebagai pelengkap dunia industri, maka bisa jadi manusia Indonesia ke depan adalah manusia kapitalistik.

Sekolah diharapkan menghantarkan sekaligus mencetak anak-anak yang punya kepribadian yang luar biasa (berkarakter dan berkebudayaan), artinya  mampu membanggakan kita semua, ketika kita menyaksikan seorang anak yang juara olimpiade fisika, biologi (beberapa waktu lalu), anak suka membaca, pintar main musik dan lain sebagainya. Siapa yang bangga? Tentu kita semua jawabannya. Sekolah bukan sekedar perubahan kurikulum, pelatihan guru, namun sekolah tetap menjunjung tinggi nilai budaya bangsa terutama nilai-nilai kejujuran. Saat ini nilai kejujuran sangatlah minim, siswa dituntu untuk mengamnalkan nilai kejujuran sementara sekolah telah banyak melakukan ketidakjujuran mulai pengisian data siswa (sekolah kecil), masa kerja (saat pendataan sertifikasi), hingga nilai di kelas akhir demi kepentingan sebuah predikat kelulusan. Inilah ironisnya sekolah zaman sekarang yang berorientasi pada profit dan kelulusan. Sementara kualitas manusianya masih dinomerduakan. Belum lagi persoalan kurikulum 2013 yang diambang pintu, persoalan muncul kembali, misalnya masih banyak sekolah-sekolah yang belum menerima buku, sistem penilaian yang masih belum diterima (membingungkan) oleh banyak guru dan adanya diskriminatif terhadap mata pelajaran tertentu. Tidak ubahnya sekolah hanya butuh ijazah, dinyatakan lulus orangtua pun sudah cukup bangga.

Coba kita perhatikan pada saat penerimaan siswa maupun mahasiswa baru disetiap tahunnya, banyak pemandangan disudut-sudut kota bertebaran spanduk, baliho dan sejenisnya yang bertuliskan slogan kapitalistik, misalnya “lulus dijamin kerja” atau banyak sekali tulisan yang berbau kapitalistik. Apalagi banyak sekolah yang bergaya ala industri yang semakin memperparah citra pendidikan yang cenderung lebih berorientasi pengakumulasian modal dari pada peningkatan kualitas. Kondisi yang demikian tentu tidak akan pernah habis, jika tidak bisa dimulai dari diri kita (guru) sebagai ujung tombak dunia pendidikan. Pendidikan harus selangkah lebih maju dengan Negara tetangga yang dulunya impor guru dari Negara yang kita banggakan ini.

Dengan demikian, akhirnya terlihat jelas bagaimana mutu SDM Indonesia yang jauh dari harapan seperti yang dilaporkan oleh studi United Nation Development Program (UNDP) tahun 2013 bahwa nilai Indek Pembangunan Manusia (IPM) Indonesia saat ini masih di bawah angka rata-rata negara dengan nilai IPM menengah. Nilai IPM Indonesia juga lebih rendah jika dibandingkan nilai rata-rata IPM negara di kawasan Asia Timur dan Asia Pasifik. Catatan lain misalnya, angka harapan tahun belajar Indonesia yang terus stagnan dalam tiga tahun terakhir. Data UNPD menyebutkan, tingkat ekspektasi tahun belajar Indonesia tetap berada pada level 12,9 pada 2010, 2011, dan 2012. Artinya, penduduk Indonesia memiliki harapan sekolah selama 12,9 tahun atau hanya mencapai sekolah menengah pertama. Oleh sebab itu, pemerintah Indonesia harus lebih inovatif meningkatkan angka ekspektasi tahun belajar demi meningkatkan kesejahteraan dan angka IPM.

Tak heran kalau ditingkatan masyarakat memandang dunia pendidikan sampai saat ini seperti layaknya Institusi Penyelur PNS, indikasi dari pandangan tersebut bisa dilihat dari animo masyarakat yang cukup tinggi untuk mendaftarkan CPNS sekalipun harus mengeluarakan rupiah yang jumlahnya sangat mengejutkan. Mereka rela demi semua itu yang penting bisa jadi PNS sekalipun dengan jalan pintas. Hal ini pun merupakan salah satu faktor yang menyebabkan tingkat pengangguran kaum terdidik yang setiap tahunnya bertambah, sebab kesalahan motif sekolah sebagai akibat prilaku sekolah yang kapitalistik akhirnya banyak melahirkan kaum terdidik yang bermentalitas 3 G (gengsi gede-gedean).

Sekilas paparan diatas setidaknya menjadi renungan bagi dunia pendidikan kita, bahwa pendidikan bukanlah sesederhana dengan hanya mengumpulkan orang kemudian diceramahi setelah itu pulang kerumah dengan membawa segudang tugas buat keesokan harinya, kemudian berangkat ke sekolah lagi sampai tercapainya sebiah ijazah (legalitas kelulusan), inilah yang penulis sebut dengan SBJT (sekolah berbasis jalan tol). Semua serba instan mulai masuk hingga kelulusan tiba.
Jika kondisi sekolah stagnan seperti kondisi tersebut, maka pilihan untuk bersekolah merupakan pilihan yang sangat merugikan akan tetapi jika proses yang dijalankannya tidak seperti sekolah jalan tol, maka pilihan untuk berinvestasi di dunia pendidikan dengan jalan menyekolahkan anak-anak kita merupakan pilihan yang sangat cerdas. Oleh sebab itu, sudah saatnya dunia pendidikan kita mereformasi diri secara serius khususnya bagaimana pembelajaran disekolah itu bisa dijalankan melalui prinsip penyadaran kritis sebagai kekuatan kesadaran kritis bisa menganalisis, mengaitkan, bahkan menyimpulkan bahwa persoalan kemiskinan, pengangguran dan lain sebagainya itu merupakan persoalan sistem bukan karena persoalan jenjang sekolah. Mari selamatkan sekolah-sekolah pinggiran*