Oleh: Romadhon AS (Presiden BEM Unikama Tahun 2008)
Menjelang 3 tahun Jokowi-JK dalam mengabdi pada bangsa perlu
dikoreksi bersama seluruh elemen bangsa. Tak terkecuali mahasiswa sebagai agen
of change dan control social ditunggu kiprahnya dlm menyiarakan kebenaran dan
keadilan.
Mahasiswa sebagai kaum intelektual tentu memiliki ketajaman
analisa dan responsibility social yg tinggi. Tak dapt dipungkiri, tak semua
mahasiswa sadar akan peran dan fungsinya. Ditambah kondisi saar ini, era
digitalisasi telah menyerat mahasiswa pd pusaran pragmatis. Mahasiswa tak sadar
lagi akan peran dan fungsinya sebagai kaum intekektual. Tak sedikit mahasiswa
yg menghabiskan waktu hanya di kos, cafe, dan tempat lainnya yg jauh dr nilai2
keintelektualan.
Saat ini, sudah saatnya mahasiswa kembali ke khittoh sebagai
bagaian tak terpisahkan dlm perjuangan sejarah bangsa dan gerakan mahasiswa
dikancah nasional. Untuk kembali pada khittoh, perlu juga dipahami kembali
tipologi mahasiswa saat ini, antara lain; Pertama, MAHASISWA AKADEMIS, pd
tipologi ini mahasiswa banyak menghabiskan dibangku kelas, mengerjakan tugas.
Secara akademis bisa jadi selalu comlaude. Nmaun, pd sisi lain mahasiswa tak
memiliki kemampuan soft skill. Sehingga pd realitas kehidupan sulit bersaing.
Karena realitas tak cukup dibuktikan dg angka2 dlm lembaran yg disebut ijazah.
Kedua, MAHASISWA ORGANISATORIS, pada tipologi ini organisasi
hanya menjadi batu loncatan semata. Dalam berorganisasi ia unggul, namun lemah
secara akademis. Sehingga tak jarang mahasiswa hanya mengurus kegiatan. Kemampuan
intelektual belum memadai hanya bergelut dlm organisasi dan kegiatan. Pd
realitas, ia kalah pd dimensi akademis yg akhirnya kalah merepresentasikan
dirinya dg gelar yg disandang. Ketiga, MAHASISWA AKTIVIS. Aktivis tak sesempit
yg kita maknai, hanya berorganisasi sebagaimana yg disebut tipologi kedua.
Menjadi mahasiswa aktivis tak mengabaikan kewajiban dan tanggungjawab akademis.
Dan tak bersikap apatis untuk merespon problematiaka kebangsaan. Biasanya, pd mahasiswa ini keduanya menjadi
penting dan utama baik menjalankan rutinitas akademis maupun sensitifitas
sosial. Sebut saja, mahasiswa lbh cepet menyikapi persoalan dg mengedepankan
nilai2 analitis yg kuat dan solutif. Mengkritisi, tentu harus dibarengi dg
analisis progresif dan win-win solution. Tipologi seperti ini jarang ditemukan
akhir2 ini. Lalu, potret mahasiswa aktivis hari ini berda dalam tiga golongan,
ada yg aktivis materialistis, aktivis romantis, aktivis politis, dan aktivis
akademis (penjelsan bisa kita renungkan realitas).
Keempat, MAHASISWA HEDONIS. Tipe seperti ini tak bisa
dihindari dlm kehidupan kampus. Karena kampus bersemayam antara cinta, tahta,
dan wanita. Hal ini, diperkuat di era digitalisasi dewasa ini. Mahasiswa
menghabiskan waktu dg hedonisasi semata. Meliterisasikan diri hampir tak
ditemukan dlm kehidupan kampus. Sudut2 kampus pun menjadi ruang individualis
antara dia dg jaringan dan media sosial lainnya. Secara akademis, tak mampu
menjalankan dg baik. Bisa jadi TIPSEN (titip absen) pd temennya. Apalagi
berorganisasi yg sama sekali tak digaji. Mahasiswa enggan mau mengabdikan diri.
Baginya, happy fun, jalan2, dan shoping menjadi rutinutas yg dijalankan secara
istiqomah.
Tipologi diatas setidaknya merepresentasikan kondisi
mahasiswa saat ini. Jarang sekali kita temukan mahasiswa turun kejalan. Semata2
menyuarakan kebenaran dan keadialan. Tak dipungkiri pula yg turun kejalan pun
bukan karena keberpihakan (gerakan hati nurani). Melainkan hanya sesuap nasi
dan afiliasi atas kepentingan pragmatis.
Dalam momentun 20 Oktober 2017 ini setidaknya menjadi
refleksi atas kondisi mahasiswa yang serba digital untuk melakukan rekonstruksi
peran dan melibatkan diri dlm kancah gerakan nasional.
Malang, 19 Oktober 2017
Romadhon AS