Flash News
Diberdayakan oleh Blogger.
Mail Instagram Pinterest RSS
Siapa Romadhon?

MENAKAR MAHASISWA DI ERA DIGITAL (Androidisasi)








Oleh: Romadhon AS (Presiden BEM Unikama Tahun 2008)




Menjelang 3 tahun Jokowi-JK dalam mengabdi pada bangsa perlu dikoreksi bersama seluruh elemen bangsa. Tak terkecuali mahasiswa sebagai agen of change dan control social ditunggu kiprahnya dlm menyiarakan kebenaran dan keadilan.

Mahasiswa sebagai kaum intelektual tentu memiliki ketajaman analisa dan responsibility social yg tinggi. Tak dapt dipungkiri, tak semua mahasiswa sadar akan peran dan fungsinya. Ditambah kondisi saar ini, era digitalisasi telah menyerat mahasiswa pd pusaran pragmatis. Mahasiswa tak sadar lagi akan peran dan fungsinya sebagai kaum intekektual. Tak sedikit mahasiswa yg menghabiskan waktu hanya di kos, cafe, dan tempat lainnya yg jauh dr nilai2 keintelektualan.

Saat ini, sudah saatnya mahasiswa kembali ke khittoh sebagai bagaian tak terpisahkan dlm perjuangan sejarah bangsa dan gerakan mahasiswa dikancah nasional. Untuk kembali pada khittoh, perlu juga dipahami kembali tipologi mahasiswa saat ini, antara lain; Pertama, MAHASISWA AKADEMIS, pd tipologi ini mahasiswa banyak menghabiskan dibangku kelas, mengerjakan tugas. Secara akademis bisa jadi selalu comlaude. Nmaun, pd sisi lain mahasiswa tak memiliki kemampuan soft skill. Sehingga pd realitas kehidupan sulit bersaing. Karena realitas tak cukup dibuktikan dg angka2 dlm lembaran yg disebut ijazah.

Kedua, MAHASISWA ORGANISATORIS, pada tipologi ini organisasi hanya menjadi batu loncatan semata. Dalam berorganisasi ia unggul, namun lemah secara akademis. Sehingga tak jarang mahasiswa hanya mengurus kegiatan. Kemampuan intelektual belum memadai hanya bergelut dlm organisasi dan kegiatan. Pd realitas, ia kalah pd dimensi akademis yg akhirnya kalah merepresentasikan dirinya dg gelar yg disandang. Ketiga, MAHASISWA AKTIVIS. Aktivis tak sesempit yg kita maknai, hanya berorganisasi sebagaimana yg disebut tipologi kedua. Menjadi mahasiswa aktivis tak mengabaikan kewajiban dan tanggungjawab akademis. Dan tak bersikap apatis untuk merespon problematiaka kebangsaan.  Biasanya, pd mahasiswa ini keduanya menjadi penting dan utama baik menjalankan rutinitas akademis maupun sensitifitas sosial. Sebut saja, mahasiswa lbh cepet menyikapi persoalan dg mengedepankan nilai2 analitis yg kuat dan solutif. Mengkritisi, tentu harus dibarengi dg analisis progresif dan win-win solution. Tipologi seperti ini jarang ditemukan akhir2 ini. Lalu, potret mahasiswa aktivis hari ini berda dalam tiga golongan, ada yg aktivis materialistis, aktivis romantis, aktivis politis, dan aktivis akademis (penjelsan bisa kita renungkan realitas).

Keempat, MAHASISWA HEDONIS. Tipe seperti ini tak bisa dihindari dlm kehidupan kampus. Karena kampus bersemayam antara cinta, tahta, dan wanita. Hal ini, diperkuat di era digitalisasi dewasa ini. Mahasiswa menghabiskan waktu dg hedonisasi semata. Meliterisasikan diri hampir tak ditemukan dlm kehidupan kampus. Sudut2 kampus pun menjadi ruang individualis antara dia dg jaringan dan media sosial lainnya. Secara akademis, tak mampu menjalankan dg baik. Bisa jadi TIPSEN (titip absen) pd temennya. Apalagi berorganisasi yg sama sekali tak digaji. Mahasiswa enggan mau mengabdikan diri. Baginya, happy fun, jalan2, dan shoping menjadi rutinutas yg dijalankan secara istiqomah.

Tipologi diatas setidaknya merepresentasikan kondisi mahasiswa saat ini. Jarang sekali kita temukan mahasiswa turun kejalan. Semata2 menyuarakan kebenaran dan keadialan. Tak dipungkiri pula yg turun kejalan pun bukan karena keberpihakan (gerakan hati nurani). Melainkan hanya sesuap nasi dan afiliasi atas kepentingan pragmatis.

Dalam momentun 20 Oktober 2017 ini setidaknya menjadi refleksi atas kondisi mahasiswa yang serba digital untuk melakukan rekonstruksi peran dan melibatkan diri dlm kancah gerakan nasional.

Malang, 19 Oktober 2017

Romadhon AS