Oleh: Damianus Babur
(Mahasiswa Peternakan Universitas Kanjuruhan Malang Angkatan 2016
Pengantar
Fenomena korupsi
merupakan fenomena hangat di bicarakan belakangan ini di berbagai media. Selain
karena efek yang di timbulkannya, terungkapnya berbagai kasus korupsi
menjadikan isu ini sebagai headline
di berbagai media nasional maupun lokal. Banyak berpandangan bahwa praktek
korupsi lahir akibat moral pemimpin sehingga memungkinkan praktek korupsi marak
terjadi. Pandangan semacam ini seolah
beranggapan bahwa individu memiliki kemampuan berkehendak, sehingga apapun yang
individu kehendaki pasti akan terwujud. Apabila seseorang telah menanamkan pada
dirinya untuk tidak korupsi maka ia tidak akan menjadi seorang koruptor.
Pandangan ini menolak intervensi lingkungan yang kuat terhadap moralitas dan
kesadaran seseorang.
Pandangan seperti ini
sebenarnya tidak sepenuhnya salah, namun yang salah dari pandangan ini adalah
menumpukan pandangannya pada subjektivitas pelaku. Pandangan ini tidak melihat
bahwa pelaku juga berinteraksi, dan tentunya dorongan (pandangan) masyarakat
sekitar menjadi kunci utama moralitas
seseorang. Namun demikian bukan berarti bahwa hukuman tidak dijatuhkan kepada
pelaku korupsi. Seseorang melakukan korupsi lebih diakibatkan oleh
ketidakpedulian seseorang terhadap lingkungan sekitar. Pelaku korupsi mungkin
saja berpandangan bahwa seolah hanya dirinya-lah yang akan hidup di dunia ini
tanpa memikirkan masyarakat yang akan sengsara atas perbuatannya.
Terlihat bahwa
sebenarnya moralitas utama pelaku korupsi adalah moralitas individualistik yang
dibentuk tentunya oleh watak/moralitas masyrakat yang semakin individualis, memikirkan
diri sendiri dan tidak mau peduli. Tentunya penting pula untuk sedikit kita
mengkaji darimana watak/moralitas individualistik ini muncul dan berkembang, untuk
mencari akar masalah korupsi yang
sebenarnya, mengingat moralitas inilah yang dominan mempengaruhi seseorang
untuk melakukan korupsi, sebuah watak yang tidak peduli dengan kondisi
masyarakat sekitar.
Potret
Korupsi di Indonesia
Berbicara tentang
korupsi di Indonesia saat ini masyarakat selalu kecewa dan sakit hati terhadap
sistem pemerintahan. Karena pemerintah dianggap tidak berhasil mewujudkan
pemerintah yang bersih dari tindakan korupsi. Berbicara mengenai korupsi yang
dilakukan oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah selalu mencuat
kepermukaan, permasalahan ini menggiring masyarakat selalu membicarakan
mengenai kebobrokan pemerintah Indonesia yang berkaitan dengan korupsi hingga
di warung kopi. Indonesia untuk saat ini boleh dikatakan korupsi adalah budaya
baru yang dianut oleh pejabat negara, sehingga yang menjadi ketakutan kita
bersama adalah ketika budaya ini terus berkembang dan akan menciptakan generasi
baru. Hal ini juga menyebabkan semakin lama tindakan korupsi di Indonesia maka
semakin sulit pula tindakan korupsi ini
untuk diatasi.
Maraknya korupsi di
Indonesia terjadi disemua bidang dan sektor pembangunan. Korupsi bukan hanya di
tingkat pusat tetapi juga pada tingkat daerah bahkan menembus ke pemerintahan
paling kecil di daerah. Pada fenomena korupsi didaerah setidaknya memiliki
banyak hal dan faktor yang mempengaruhinnya. Ada beberapa indikator yang dapat
dipakai untuk bisa menjelaskan maraknya korupsi diberbagai sektor baik
legislatif, eksekutif maupun yudikatif yang merambat pada sektor swasta.
Pertama,
korupsi yang terjadi dilingkungan legislatif dan eksekutif baik pusat maupun
daerah, tidak terlepas dari kecendrungan DPR/DPRD yang lebih banyak memerankan
fungsi budgeting dari pada fungsi
legislasi dan pengawasan. Dalam
pembahasan rencana anggaran institusi lembaga pemerintahan pusat/daerah dengan
DPR / DPRD untuk saat ini mereka melakukan pendekatan. Apabila tidak di
waspadai, fenomena tersebut sangat rentan dan rawan menciptakan suap menyuap
karena masing-masing akan berusaha dengan berbagai cara untuk meloloskan
rencana anggaran institusinya masing-masing. Ketika pengajuan anggaran saja
menimbulkan berbagai kerawanan, maka dikhawatirkan dapat berimbas pula terhadap
implementasi penggunaan anggaran yang dimaksudkan. Terlebih lagi, dengan
lemahnya pengawasan dan buruknya akuntabilitas di berbagai instansi menjadikan
salah satu faktor serangan korupsi di jajaran legislatif dan eksekutif.
Kedua,
pelaksanaan pemilihan umum kepala daerah/wali kota salah diartikan juga
penerapannya terkait otonomi daerah, menjadi banyaknya pejabat daerah yang
terseret kasus tindak pidana korupsi. Kurangnya tingkat pengawasan dan
partisispasi masyarakat menyebabkan semakin banyaknya korupsi di daerah. Otonomi
seolah-olah merupakan upaya memindahkan korupsi yang dulunya hanya melibatkan
pemerintah pusat ke pemerintah daerah dan menyuburkan kolusi antara pejabat
dengan pengusaha, melalui sistem ijon dalam pelaksanaan suatu proyek daerah.
Pola pilkada yang membutuhkan biaya tinggi, menjadikan titik rawan munculnya money politic menjadi awal tumbuhnya
persengkokolan antara pejabat daerah dengan pengusaha.
Ketiga,
tertundanya pengesahan APBD merupakan fenomena yang kerap kali terjadi,
sehingga banyak kegiatan dan proyek yang dilaksanakan di daerah ditalangi dulu
oleh biaya siluman. Ketidakjelasan sumber dana dan besaran alokasi dana
kegiatan dan proyek yang dilaksanakan terlebih dahulu, menjadikan salah satu
faktor adanya penyimpangan dalam pengelolaan anggaran didaerah.
Penegakan Hukum Dalam Pemberantasan Korupsi
Efektifitas penegakan
hukum sebenarnya tidak hanya ditentukan oleh aparat penegak hukum semata, melainkan
juga ditentukan oleh faktor perundang-undangan dan faktor budaya hukum. Adapun
poin-poin penting penegakan hukum dalam rangka pemberantasan tindak pidana
korupsi yakni: 1) Peraturan perundang-undangan secara objektif, norma hukum
yang akan ditegakkan mencakup pengertian hukum formal dan hukum materiil. Hukum
formal, hanya bersangkutan dengan peraturan perundang-undangan yang tertulis. Hukum
materiil mencakup pula pengertian nilai-nilai keadilan yang hidup dalam
masyarakat. 2) Aparatur penegak hukum dalam kaitan arah pemberantasan korupsi
ke depan maka peraturan perundang-undanagan mengenai aparatur penegak hukum
haruslah dilakukan harmonisasi terutama berkaitan dengan tugas dan fungsi
penyelidikan/penyidik. Semakin banyak penyelidik/penyidik tidak pidana korupsi
maka semakin baik pula dalam tugas pemberantasan korupsi.
Srategi
Pemberantasan Korupsi
Sebagimana dalam paparan diatas.
Pemberantasan korupsi tak cukup hanya mempertajam hukum, menegakkan keadilan.
Perlu juga mengatur strategi sebagai upaya terencana yang terukur dan tepat
sasaran. Berikut strategi dalam pemberantasan korupsi, antara lain: 1) Tindakan represif: Penanganan
terhadap terjadinya tindak pidana korupsi dilakukan secara profesional dan
proporsional. Kejaksaan menerapkan prinsip optimalisasi dan berkualitas serta
memprioritaskan kasus-kasus korupsi yang dinilai perkara besar dan pembuatan
pidana yang dilakukan secara terus menerus serta mengusahakan semaksimal
mungkin pengembalian dan penyelamatan keuangan negara. 2) Upaya preventif: Tindakan preventif dinilai cukup strategis
dalam rangaka pencegahan terjadinya tindak pidana korupsi di indonesia antara
lain; a) Meningkatakan efektivitas kebijakan dan kelembagaan terutama terkait dengan
pelayanan publik, b) Meningkatkan pengawasan terhadap pemerintah, sehingga
dapat diakses oleh publik yang transparan dan akuntabel, c) Memperbaiki manajemen
keuangan termasuk manajemen pengadaan barang/jasa, d) Memperkuat komitmen anti
korupsi termasuk melalui lembaga-lembaga pendidikan secara edukatif terkait
dengan integritas nasional bagi anggota masyarakat, pelaku usaha dan aparatur
pemerintah/ negara, e) Reformasi birokrasi, merupakan upaya untuk melakukan
pembaharuan dan perubahan mendasar terhadap sistem penyelenggaraan pemerintahan
terutama menyangkut aspek kelembagaan, ketatalaksanaan dan sumber daya manusia
aparatur, f) Melaksanakan Pengawasan Melekat (waskat) secara efektif bagi
setiap pimpinan pada semua tingkatan /satuan kerja dan memberikan tauladan yang
baik serta mentaati semua peraturan hukum.
Bagaimana
Upaya pemberantasan korupsi di Era Jokowi?
Kinerja pemberantasan korupsi Era Presiden Jokowi dalam tiga tahun
terakhir justru tenggelam akibat sejumlah kegaduhan dibidang hukum khususnya
upaya pelemahan terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Mulai dari kriminalisasi
terhadap Abraham Samad dan Bambang Widjojanto selaku pimpinan KPK hingga
penyerangan terhadap Novel Baswedan, penyidik KPK.
Jokowi juga tersandera
mayoritas partai politik pendukungnya di parlemen yang berupaya melemahkan KPK
melalui rencana Revisi UU KPK maupun pembentukan Pansus Hak Angket KPK.
Sebagai tangan kanan Pemerintahan Jokowi, kinerja kejaksaan dibawah
Jaksa Agung HM Prasetyo – mantan politisi dari Partai Nasdem- dalam memerangi
korupsi jauh dari memuaskan. Meski pihak kejaksaan mengklaim menyelamatkan uang
negara hingga Rp 1,5 triliun dan menangani ribuan kasus korupsi, namun secara
kualitas tidak banyak kasus korupsi kelas kakap yang terungkap oleh institusi
ini. Kinerja Kejaksaan jauh dibawah pencapaian KPK yang berhasil mengungkap
skandal korupsi kelas kakap seperti proyek E-KTP, dana Bantuan Likuidasi Bank
Indonesia dan puluhan operasi tangkap tangan terhadap pelaku korupsi yang
berasal dari kepala daerah, anggota parlemen, aparat pemerintah dan penegak
hukum.
Citra antikorupsi pemerintahan Jokowi menjadi suram setelah sejumlah
kementerian dan lembaga dibawah Jokowi tersandung kasus korupsi seperti di
Direktorat Pajak, Kejaksaan, Kementrian Perhubungan dan Kementerian Desa.
Selain itu sedikitnya 18
kepala daerah tertangkap tangan oleh KPK karena terlibat korupsi.
Pemberian remisi atau
pengurangan masa tahanan untuk koruptor masih terjadi di Era pemerintahan
Jokowi meskipun kebijakan ini dinilai tidak mendukung pemberantasan korupsi.
Pemerintahan Jokowi juga belum menyelesaikan regulasi yang mendukung
pemberantasan korupsi seperti Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset,
RUU Kerjasama Timbal Balik dan RUU Pembatasan Transaksi Tunai. Sejumlah
kebijakan antikorupsi seperti Peraturan Presiden tentang Rencana Aksi Nasional
Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi seringkali terlambat diterbitkan dan minim
evaluasi pelaksanaannya Pada era tiga tahun pemerintahan Jokowi, Indonesia
masih belum keluar dari zona negara terkorup di dunia berdasarkan Indeks
Persepsi Korupsi (IPK) yang dikeluarkan oleh Tranparency International.
Dengan skor terendah 0 dan tertinggi 100, pada tahun 2015 skor IPK
Indonesia adalah 36 dan
menempati posisi 88 dari 168 negara. Pada tahun 2016, skor CPI Indonesia hanya
meningkat satu poin menjadi 37 dan berada pada urutan ke-90 dari 176 negara.
Posisi Indonesia berada jauh
dibawah tetangganya di ASEAN seperti Singapura dan Malaysia.
Masa kerja pemerintahan Jokowi saat ini kurang dari dua tahun dan masih
terbuka peluang bagi Jokowi untuk memperbaiki diri.
Program pemberantasan
korupsi harus menjadi agenda prioritas yang harus diselesaikan dan tidak
sekedar upaya pencitraan semata. Jokowi sebaiknya melakukan evaluasi dan perbaikan atas
kebijakan antikorupsi yang pernah disusun.
Mempercepat agenda perbaikan
internal lembaga penegak hukum dan jika perlu mengganti para pembantu Presiden
yang tidak sejalan dengan program kerjanya.