Flash News
Diberdayakan oleh Blogger.
Mail Instagram Pinterest RSS
Siapa Romadhon?

KORUPSI: ANTARA AKSI DAN ILUSI DALAM MEMBANGUN NEGERI






Oleh: Damianus Babur
(Mahasiswa Peternakan Universitas Kanjuruhan Malang Angkatan 2016


Pengantar
Fenomena korupsi merupakan fenomena hangat di bicarakan belakangan ini di berbagai media. Selain karena efek yang di timbulkannya, terungkapnya berbagai kasus korupsi menjadikan isu ini sebagai headline di berbagai media nasional maupun lokal. Banyak berpandangan bahwa praktek korupsi lahir akibat moral pemimpin sehingga memungkinkan praktek korupsi marak terjadi. Pandangan semacam ini  seolah beranggapan bahwa individu memiliki kemampuan berkehendak, sehingga apapun yang individu kehendaki pasti akan terwujud. Apabila seseorang telah menanamkan pada dirinya untuk tidak korupsi maka ia tidak akan menjadi seorang koruptor. Pandangan ini menolak intervensi lingkungan yang kuat terhadap moralitas dan kesadaran seseorang.
Pandangan seperti ini sebenarnya tidak sepenuhnya salah, namun yang salah dari pandangan ini adalah menumpukan pandangannya pada subjektivitas pelaku. Pandangan ini tidak melihat bahwa pelaku juga berinteraksi, dan tentunya dorongan (pandangan) masyarakat sekitar  menjadi kunci utama moralitas seseorang. Namun demikian bukan berarti bahwa hukuman tidak dijatuhkan kepada pelaku korupsi. Seseorang melakukan korupsi lebih diakibatkan oleh ketidakpedulian seseorang terhadap lingkungan sekitar. Pelaku korupsi mungkin saja berpandangan bahwa seolah hanya dirinya-lah yang akan hidup di dunia ini tanpa memikirkan masyarakat yang akan sengsara atas perbuatannya.
Terlihat bahwa sebenarnya moralitas utama pelaku korupsi adalah moralitas individualistik yang dibentuk tentunya oleh watak/moralitas masyrakat yang semakin individualis, memikirkan diri sendiri dan tidak mau peduli. Tentunya penting pula untuk sedikit kita mengkaji darimana watak/moralitas individualistik ini muncul dan berkembang, untuk mencari akar masalah korupsi  yang sebenarnya, mengingat moralitas inilah yang dominan mempengaruhi seseorang untuk melakukan korupsi, sebuah watak yang tidak peduli dengan kondisi masyarakat sekitar.
Potret Korupsi di Indonesia
Berbicara tentang korupsi di Indonesia saat ini masyarakat selalu kecewa dan sakit hati terhadap sistem pemerintahan. Karena pemerintah dianggap tidak berhasil mewujudkan pemerintah yang bersih dari tindakan korupsi. Berbicara mengenai korupsi yang dilakukan oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah selalu mencuat kepermukaan, permasalahan ini menggiring masyarakat selalu membicarakan mengenai kebobrokan pemerintah Indonesia yang berkaitan dengan korupsi hingga di warung kopi. Indonesia untuk saat ini boleh dikatakan korupsi adalah budaya baru yang dianut oleh pejabat negara, sehingga yang menjadi ketakutan kita bersama adalah ketika budaya ini terus berkembang dan akan menciptakan generasi baru. Hal ini juga menyebabkan semakin lama tindakan korupsi di Indonesia maka semakin  sulit pula tindakan korupsi ini untuk diatasi.
Maraknya korupsi di Indonesia terjadi disemua bidang dan sektor pembangunan. Korupsi bukan hanya di tingkat pusat tetapi juga pada tingkat daerah bahkan menembus ke pemerintahan paling kecil di daerah. Pada fenomena korupsi didaerah setidaknya memiliki banyak hal dan faktor yang mempengaruhinnya. Ada beberapa indikator yang dapat dipakai untuk bisa menjelaskan maraknya korupsi diberbagai sektor baik legislatif, eksekutif maupun yudikatif yang merambat pada sektor swasta.
Pertama, korupsi yang terjadi dilingkungan legislatif dan eksekutif baik pusat maupun daerah, tidak terlepas dari kecendrungan DPR/DPRD yang lebih banyak memerankan fungsi budgeting dari pada fungsi legislasi  dan pengawasan. Dalam pembahasan rencana anggaran institusi lembaga pemerintahan pusat/daerah dengan DPR / DPRD untuk saat ini mereka melakukan pendekatan. Apabila tidak di waspadai, fenomena tersebut sangat rentan dan rawan menciptakan suap menyuap karena masing-masing akan berusaha dengan berbagai cara untuk meloloskan rencana anggaran institusinya masing-masing. Ketika pengajuan anggaran saja menimbulkan berbagai kerawanan, maka dikhawatirkan dapat berimbas pula terhadap implementasi penggunaan anggaran yang dimaksudkan. Terlebih lagi, dengan lemahnya pengawasan dan buruknya akuntabilitas di berbagai instansi menjadikan salah satu faktor serangan korupsi di jajaran legislatif dan eksekutif.
Kedua, pelaksanaan pemilihan umum kepala daerah/wali kota salah diartikan juga penerapannya terkait otonomi daerah, menjadi banyaknya pejabat daerah yang terseret kasus tindak pidana korupsi. Kurangnya tingkat pengawasan dan partisispasi masyarakat menyebabkan semakin banyaknya korupsi di daerah. Otonomi seolah-olah merupakan upaya memindahkan korupsi yang dulunya hanya melibatkan pemerintah pusat ke pemerintah daerah dan menyuburkan kolusi antara pejabat dengan pengusaha, melalui sistem ijon dalam pelaksanaan suatu proyek daerah. Pola pilkada yang membutuhkan biaya tinggi, menjadikan titik rawan munculnya money politic menjadi awal tumbuhnya persengkokolan antara pejabat daerah dengan pengusaha.
Ketiga, tertundanya pengesahan APBD merupakan fenomena yang kerap kali terjadi, sehingga banyak kegiatan dan proyek yang dilaksanakan di daerah ditalangi dulu oleh biaya siluman. Ketidakjelasan sumber dana dan besaran alokasi dana kegiatan dan proyek yang dilaksanakan terlebih dahulu, menjadikan salah satu faktor adanya penyimpangan dalam pengelolaan anggaran didaerah.

Penegakan  Hukum Dalam Pemberantasan Korupsi
Efektifitas penegakan hukum sebenarnya tidak hanya ditentukan oleh aparat penegak hukum semata, melainkan juga ditentukan oleh faktor perundang-undangan dan faktor budaya hukum. Adapun poin-poin penting penegakan hukum dalam rangka pemberantasan tindak pidana korupsi yakni: 1) Peraturan perundang-undangan secara objektif, norma hukum yang akan ditegakkan mencakup pengertian hukum formal dan hukum materiil. Hukum formal, hanya bersangkutan dengan peraturan perundang-undangan yang tertulis. Hukum materiil mencakup pula pengertian nilai-nilai keadilan yang hidup dalam masyarakat. 2) Aparatur penegak hukum dalam kaitan arah pemberantasan korupsi ke depan maka peraturan perundang-undanagan mengenai aparatur penegak hukum haruslah dilakukan harmonisasi terutama berkaitan dengan tugas dan fungsi penyelidikan/penyidik. Semakin banyak penyelidik/penyidik tidak pidana korupsi maka semakin baik pula dalam tugas pemberantasan korupsi.
Srategi Pemberantasan Korupsi
Sebagimana dalam paparan diatas. Pemberantasan korupsi tak cukup hanya mempertajam hukum, menegakkan keadilan. Perlu juga mengatur strategi sebagai upaya terencana yang terukur dan tepat sasaran. Berikut strategi dalam pemberantasan korupsi, antara lain: 1) Tindakan represif: Penanganan terhadap terjadinya tindak pidana korupsi dilakukan secara profesional dan proporsional. Kejaksaan menerapkan prinsip optimalisasi dan berkualitas serta memprioritaskan kasus-kasus korupsi yang dinilai perkara besar dan pembuatan pidana yang dilakukan secara terus menerus serta mengusahakan semaksimal mungkin pengembalian dan penyelamatan keuangan negara. 2) Upaya preventif: Tindakan preventif dinilai cukup strategis dalam rangaka pencegahan terjadinya tindak pidana korupsi di indonesia antara lain; a) Meningkatakan efektivitas kebijakan dan kelembagaan terutama terkait dengan pelayanan publik, b) Meningkatkan pengawasan terhadap pemerintah, sehingga dapat diakses oleh publik yang transparan dan akuntabel, c) Memperbaiki manajemen keuangan termasuk manajemen pengadaan barang/jasa, d) Memperkuat komitmen anti korupsi termasuk melalui lembaga-lembaga pendidikan secara edukatif terkait dengan integritas nasional bagi anggota masyarakat, pelaku usaha dan aparatur pemerintah/ negara, e) Reformasi birokrasi, merupakan upaya untuk melakukan pembaharuan dan perubahan mendasar terhadap sistem penyelenggaraan pemerintahan terutama menyangkut aspek kelembagaan, ketatalaksanaan dan sumber daya manusia aparatur, f) Melaksanakan Pengawasan Melekat (waskat) secara efektif bagi setiap pimpinan pada semua tingkatan /satuan kerja dan memberikan tauladan yang baik serta mentaati semua peraturan hukum.

Bagaimana Upaya pemberantasan korupsi di Era Jokowi?
Kinerja pemberantasan korupsi Era Presiden Jokowi dalam tiga tahun terakhir justru tenggelam akibat sejumlah kegaduhan dibidang hukum khususnya upaya pelemahan terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Mulai dari kriminalisasi terhadap Abraham Samad dan Bambang Widjojanto selaku pimpinan KPK hingga penyerangan terhadap Novel Baswedan, penyidik KPK. Jokowi juga tersandera mayoritas partai politik pendukungnya di parlemen yang berupaya melemahkan KPK melalui rencana Revisi UU KPK maupun pembentukan Pansus Hak Angket KPK.
Sebagai tangan kanan Pemerintahan Jokowi, kinerja kejaksaan dibawah Jaksa Agung HM Prasetyo – mantan politisi dari Partai Nasdem- dalam memerangi korupsi jauh dari memuaskan. Meski pihak kejaksaan mengklaim menyelamatkan uang negara hingga Rp 1,5 triliun dan menangani ribuan kasus korupsi, namun secara kualitas tidak banyak kasus korupsi kelas kakap yang terungkap oleh institusi ini. Kinerja Kejaksaan jauh dibawah pencapaian KPK yang berhasil mengungkap skandal korupsi kelas kakap seperti proyek E-KTP, dana Bantuan Likuidasi Bank Indonesia dan puluhan operasi tangkap tangan terhadap pelaku korupsi yang berasal dari kepala daerah, anggota parlemen, aparat pemerintah dan penegak hukum.
Citra antikorupsi pemerintahan Jokowi menjadi suram setelah sejumlah kementerian dan lembaga dibawah Jokowi tersandung kasus korupsi seperti di Direktorat Pajak, Kejaksaan, Kementrian Perhubungan dan Kementerian Desa. Selain itu sedikitnya 18 kepala daerah tertangkap tangan oleh KPK karena terlibat korupsi. Pemberian remisi atau pengurangan masa tahanan untuk koruptor masih terjadi di Era pemerintahan Jokowi meskipun kebijakan ini dinilai tidak mendukung pemberantasan korupsi.
Pemerintahan Jokowi juga belum menyelesaikan regulasi yang mendukung pemberantasan korupsi seperti Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset, RUU Kerjasama Timbal Balik dan RUU Pembatasan Transaksi Tunai. Sejumlah kebijakan antikorupsi seperti Peraturan Presiden tentang Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi seringkali terlambat diterbitkan dan minim evaluasi pelaksanaannya Pada era tiga tahun pemerintahan Jokowi, Indonesia masih belum keluar dari zona negara terkorup di dunia berdasarkan Indeks Persepsi Korupsi (IPK) yang dikeluarkan oleh Tranparency International. Dengan skor terendah 0 dan tertinggi 100, pada tahun 2015 skor IPK Indonesia adalah 36 dan menempati posisi 88 dari 168 negara. Pada tahun 2016, skor CPI Indonesia hanya meningkat satu poin menjadi 37 dan berada pada urutan ke-90 dari 176 negara. Posisi Indonesia berada jauh dibawah tetangganya di ASEAN seperti Singapura dan Malaysia. 
Masa kerja pemerintahan Jokowi saat ini kurang dari dua tahun dan masih terbuka peluang bagi Jokowi untuk memperbaiki diri. Program pemberantasan korupsi harus menjadi agenda prioritas yang harus diselesaikan dan tidak sekedar upaya pencitraan semata. Jokowi sebaiknya melakukan evaluasi dan perbaikan atas kebijakan antikorupsi yang pernah disusun. Mempercepat agenda perbaikan internal lembaga penegak hukum dan jika perlu mengganti para pembantu Presiden yang tidak sejalan dengan program kerjanya.

*Makalah ini dipresentasikan pada saat DESIMINASI mata kuliah Pendidikan Jati Diri Kanjuruhan (PJDK) pada tanggal 4 Januari 2018