Oleh : Romadhon AS
(Dosen PGSD Universitas Kanjuruhan Malang dan
Penulis Buku ‘Hitam Putih Pendidikan Kita)
Pendidikan
sebelum dan sesudah Pemilihan Umum (pemilu) selalu menarik perhatian bagi
setiap calon baik legislatif maupun eksekutif. Ketertarikan pada dunia
pendidikan bukan hanya karena kondisi carut marut pendidikan. Melainkan massa
pendidikan ini yang sangat signifikan untuk meraup suara. Berbagai organisasi
kependidikan telah menjamur di Republik ini. Tak hanya Persatuan Guru Republik
Indonesia (PGR) yang merupakan satu-satunya organisasi profesi guru, namun
berbagai ormas keagamaan yang memiliki lembaga pendidikan ikut andil menghimpun
kekuatan massanya.
Lalu,
apakah guru terpecah belah? Hingga kualitas pendidikan kita rendah. Hal ini
yang terus menjadi perdebatan dimuka publik baik sebelum pemilu maupun pasca
pemilu. Padahal esensi dari keberlangsungan pendidikan tak lain butuh keadilan
dan kesejahteraan. Jika keadilan terhadap guru bisa terealisasi dengan regulasi
yang tepat, tidak deskriminasi, maka seyogyanya pendidikan berjalan sesuai
khittahnya. Menyiapkan generasi cerdas, pembelajaran berkualitas adalah
ekspektasi seluruh stakoholders pendidikan kita. Apakah guru kita tak
berkualitas?
Persoalan
ini akan terus ‘gurih’ digoreng kapan saja dan dimana saja. Tak seperti
‘gorengan’ atas bencana nasional pasca 17 April 2019 yang telah memakan korban
meninggal sekitar 578 orang petugas KPPS, belum yang sedang dalam perawatan
medis. Tak ada maksud untuk mempolitisasi bencana nasional ini. Dalam pandangan
penulis, ini bukan semata pahlawan demokrasi yang kemudian diberikan
penghargaan. Namun, dibalik itu mestinya harus diungkap musabab tragedi ini.
Karena bukan 1, 2 orang, melainkan
jumlah yang sangat besar dan serentak korbannya adalah petugas KPPS. Sehingga
menjadi bahan pertimbangan pelaksanaan pemilu serentak 5 tahun yang akan
datang. Pertimbangan itu bisa dari sisi system kepemiluan, psikologis petugas,
dan sosiologis masyarakat Indonesia dalam menyelenggarakan pemilu.
Fenomena
diatas apa relevansinya dengan kondisi pendidikan kita? Setidaknya, aspek
pendidikan akan menjadi pertimbangan dalam seleksi petugas KPPS. Karena petugas
yang berkulitas akan menghasilkan kualitas penyelenggaraan yang berkualitas pula.
Bukan berarti penyelenggaraan pemilu kemarin (17/4) tak berhasil. Lagi-lagi
semua kegiatan termasuk penyelenggaraan pemilu akan terus dievaluasi agar
mendapatkan feedback atau rekomendasi atas kegiatan yang akan datang, begitu
dan seterusnya.
Pendidikan
akan terus dimonitoring dan dievaluasi sejauh mana perjalanan pendidikan di
Indonesia. Sehingga akan menghasilkan kualitas yang diharapkan semua pihak.
Konon, Indonesia mengirim guru ke Negara tetangga, Malaysia untuk membantu
menyiapkan pendidikan yang baik pasca kemerdekaannya. Bahkan pendidikan
Indonesia menjadi kiblat bagi pendidikan di beberapa Negara. Lalu, apakah
Indonesia akan mengimpor guru dari luar? Seberapa gentingkah kondisi pendidikan
kita sehingga mendatangkan guru dari luar? Ataukah guru-guru kita sudah tak
mampu menyiapkan pembelajaran berkualitas untuk menghasilakn generasi emas di
tahun 2045? Ini pertanyaan yang mesti kita renugkan termasuk para pengambil
kebijakan di Negeri ini.
Pertanyaan
diatas sering munculnya wacana yang dilontarkan Menteri Pembangunan Manusia dan
Kebudayaan RI, Puan Maharani. Puan, sapaan akrab dalam sambutan
di Musrenbangnas (10/5) di Jakarta mengatakan “kita ajak guru dari luar negeri
untuk mengajarkan ilmu-ilmu yang dibutuhkan di Indonesia” yang dilansir oleh
beberapa media online. Pada pernyataan ini, secara eksplisit sudah mulai muncul
ketidakpercayaan pemerintah terhadap guru dalam negeri untuk mengajarkan ilmu
yang relevan era kontemporer ini. Padahal apa yang menjadi kebutuhan dalam negeri,
tentu yang lebih tahu dan paham adalah Sumber Daya Manusia (SDM) dalam negeri. Perkembangan ilmu dan teknologi sudah menjadi
keniscayaan dalam mengahdapi era Revolusi Industri 4.0 agar bangsa ini terus
siap bersaing. Untuk terus bersaing, penulis berpendapat tak harus mendatangkan
dari luar apalagi hanya sekedar mengajarkan ilmu-ilmu yang dibutuhkan di
Indonesia.
Apa
yang menjadi persoalan pendidikan kita, harus dilihat dari hilir hingga hulu. Kebijakan
pemerintah harus memperhatikan suara guru tanpa pandang bulu. Karena kebijakan
memberikan efek domino pada keberlansungan pendidikan dan kekuatan guru. Jika
yang diharapakan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI, adalah melatih guru
lokal, adakalanya dilakukan pemetaan terhadap hal apa yang perlu dilatih.
Sementara program sertifikasi guna meningkatkan kualitas dan profesionalisme
telah lama dijalankan. Bahkan sebagai bentuk pengembangan dari sertifikasi
muncullah apa yang disebut Pendidikan Profesi Guru (PPG).
PPG
merupakan kebijakan yang tak lama sudah dimulai sebagai pengejawantahan dari
pengembangan profesi. Jika PPG diaggap kurang optimal dalam menyiapkan guru
yang profesional, maka pemerintah perlu merekonstruksi pola penyelenggaraan
termasuk Lembaga Pendidik dan Tenaga Kependidikan (LPTK). LPTK yang menjadi
kawah candradimuka dalam menyiapkan calon guru yang sesuai kebutuhan zaman
harus berbenah diri mulai manajemen hingga pengajar (dosen). Setidaknya dalam
hal dosen, harus memiliki kualifikasi tertentu. Misal, minimal doktor dan
memiliki pengalaman jadi guru yang berprestasi. Hal ini sebagai pemicu agar
calon guru bisa lebih terpatri memahami seluk beluk profesi guru.
Jika
dalam hal pendidikan vokasi, sebagaimana yang disampaikan Mendikbud dalam
mengafirmasi pernyataan Menteri Puan. Pemerintah bisa menyiapkan sekolah yang
minim akses kerjasama dengan Dunia Usaha dan Dunia Industri (DUDI). Mengingat,
tak semua sekolah di Indonesia memiliki akses itu, terutama sekolah swasta.
Untuk itulah pemerintah ambil kebijakan untuk mempercepat pendidikan vokasi menjadi
pendidikan pilihan utama dalam menyiapkan generasi siap kerja dan siap
bersaing.
Guru
sebagai profesi telah banyak mengalami perubahan dalam diri mulai diklat hingga
studi banding ke beberapa sekolah baik dalam negeri maupun luar negeri. Ini
sebagai wujud keseriusan seorang guru dalam mengembangkan diri. Persoalan yang
sering muncul adalah setumpuk administratif yang harus disiapkan guru. Sementara
itu, administrasi yang selalu menghantui pekerjaan utama yakni mengajar dan
mendidik jauh kalah saing dengan urusan adminitrasi. Apalagi administrasi
sebagai syarat dalam penentuan berbagai tunjangan profesi. Ini yang mestinya
harus dipangkas oleh pemerintah agar guru lebih mengoptimalkan pengembangan
diri baik dalam pembelajaran maupun pengembangan peserta didik.
Sementara
memasuki era Bonus Demografi, Romadhon dalam bukunya Hitam Putih Pendidikan
(2015: 33-34) mengungkapkan setidaknya ada 4 langkah strategis dalam
meningkatkan kualitas pendidikan, antara lain; Pertama, optimalisasi anggaran
pendidikan 20% APBN untuk peningkatan kuliatas SDM. Utamanya yang masuk dalam
bursa kerja dengan memperbanyak cakupan pendidkan kejuruan dan keterampilan.
Kedua, revitalisasi kebijakan pendidikan dunia kerja, guna memenuhi tantangan
revolusi industri 4.0 termasuk siap menghadapi pasar bebas asia pasifik yang
digagas oleh APEC. Ketiga, pemerataan pendidikan seluruh wilayah Indonesia. Hal
ini guna melakukan pemetaan kualitas dan fasilitas yang memadai sebagai
penunjang pembelajaran di era revolusi industri 4.0. keempat, penguasaan
teknologi bagi seluruh stakeholder. Ini menjadi keniscayaan dalam era yang
serba digital. Mau tidak mau, teknologi akan menjadi hal penting dalam
pendidikan. ‘Jika ingin menguasai dunia, maka kuasai teknologi’, demikian
ungkapan kata bijak.
Lalu,
apakah impor guru adalah keputusan yang tepat bagi tantangan pendidikan kita.
Penulis berpendapat, yang menjadi persoalan bukan pada impor guru. Melainkan
revitalisasi seluruh komponen adalah hal yang menjadi strategi mendasar dalam
peningkatan kualitas. Karena tak semua yang berbau luar negeri adalah hal baik.
Indonesia punya nilai kearifan lokal yang sangat mungkin nilai ini akan menjadi
keunggulan pendidikan kita. Mengingat, generasi saat ini sedang dijajah dalam
tiga hal, yaitu dalam hal pakaian (fashion). Hal ini telah kita ketahui
bersama, model pakian kerap kali tak sesuai dengan nilai-nilai keindonesiaan.
Hal lainnya seperti makanan (food) dan Hiburan telah menjadi konsumsi generasi
saat ini. Padahal rusaknya moral generasi bukan serangan bom bunuh diri atau
terorisme melainkan bobroknya moral bangsa yang dimulai dari generasinya.
Untuk
itu, sebaiknya pemerintah fokus dalam pembenahan ekosistem pendidikan kita.
Mulai dari regulasi, manajemen, SDM, fasilitas, hingga menjamin peserta didik
layak mendapatkan layanan pendidikan yang sebagaimana amanah dalam UUD 1945
dengan mengedepankan nilai-nilai kearifan lokal sebagai wujud dari nilai
ke-indonesia-an. Dengan demikian kita telah menjaga marwah pendidikan yang
telah diwariskan oleh Ki Hajar Dewantara sebagai Bapak Pendidikan Indonesia.
Salam Pendidikan Kita..!