Flash News
Diberdayakan oleh Blogger.
Mail Instagram Pinterest RSS
Siapa Romadhon?

Live In : Pembelajaran Keberagaman Mulai Dirajut (Sebuah Pengantar Buku 'Merajut Keberagaman dari Kampung Halaman hingga Kampus Multikultural)*

 


Pendahuluan

Tak nyangka, bangga bercampur ketidakpastian dalam situasi yang sulit, situasi yang gundah gulana terus menghantui ketidaktenangan dalam menghadapi wabah Corona Virus Disease yang kemudian lebih dekat dipanggil Covid-19. Virus yang konon berasal dari Wuhan-Cina telah membuat kehidupan serba dalam ke-was-was-an. Virus yang cepat menyebar menjadi perhatian dari berbagai kalangan, tak terkecuali berbagai kampus di Tanah Air turut mengambil kebijakan agar perkuliahan dilakukan dengan model pembelajaran dalam jaringan (daring). Hal ini dilakukan sebagaimana kebijakan yang diambil oleh Nadiem Makarim, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI.

Dalam menyikapi situasi ini, banyak waktu yang tidak terpakai, jika hanya sekedar belajar dari rumah, kerja dari rumah, dan ibadah dari rumah. Banyak waktu yang bisa digunakan agar lebih produktif, disamping ikhtiar terus dipanjatkan pada Sang Pemilik Kehidupan dan kematian. Salah satu kehadiran buku sederhana dan ‘cukup’ memiliki makna bagi yang ingin memaknai sebuah karya bersama yang cukup lama dipendam dengan berjibunnya waktu hampir tak terkendalikan.

Narasi ini mungkin bisa kita sebut sebuah prolog dalam menyambut kehadiran sebuah buku. Buku yang berawal dari tumpukan tugas matakuliah yang lebih berorientasi pada nilai-nilai karakter (kepribadian) yang meliputi; Jujur, Adaptif, Toleran, Inovatif, Disiplin, Integritas, Religius, dan Inklusif yang disingkat JATIDIRI. Nilai yang diejawantahkan dalam berbagai muatan materi seperti; nilai perjuangan PGRI, sejarah perjalanan kampus, kehidupan multikulturalisme-Pluralis, pendidikan anti korupsi ini kemudian disebut Matakuliah Jatidiri Kanjuruhan.

Sebuah matakuliah yang berorientasi pada pengembangan ketiga aspek pembelajaran yakni; kognitif, afektif, dan psikomotorik terus melakukan hal-hal yang tak banyak dilakukan sebelumnya. Pembelajaran bukan sekedar transfer knowledge, namun memberikan pengalaman yang berdampak pada kehidupan yang akan datang menjadi sebuah keniscayaan di abad 21 ini. Pembelajaran yang mengedepankan pembentukan karakter JATIDIRI harus menjadi garda terdepan dalam merawat keberagaman ditengah arus Revolusi Industri 4.0 yang menembus segala lapisan kehidupan ini.

 

Berawal dari ketidakyakinan

Berawal dari amanah yang diberikan pada saya pribadi, sekitar tahun 2015 akhir, saya membantu mengajar salah satu dosen matakuliah ini yang sama sekali belum pernah bertemu baik di S1 maupun S2 dengan matakuliah ini. Bermodalkan diskusi/sharing dengan dosen yang bersangkutan seputar orientasi matakuliah ini, sesekali saya minta petunjuk pada yang bersangkutan, dan akhirnya saya memberanikan diri untuk ikut andil dalam membantu almamater yang saya cintai. Pengampu matakuliah ini biasanya diampu oleh dosen tertentu dengan kapasitas intelektual yang mumpuni, dan memiliki track record yang jelas baik dalam keorganisasian maupun aktivitas sosial keagamaan.

Waktu terus berjalan, belajar pun tak boleh padam. Berbagai terobosan saya coba lakukan dalam pembelajaran ini. Saya sebagai dosen pemula dan harus banyak belajar hanya berpikir bagaimana matakuliah ini memberikan ‘efek domino’ dalam kehidupan yang akan datang pasca perkuliahan. Mulai diskusi, pagelaran, analisis film pendek, hingga membuat opini pun coba dilakukan. Semata-mata hanya ingin membentuk karakter sebagaimana dalam capaian pembelajaran. Sehingga menghasilkan lulusan yang tak hanya mengandalkan ijazah semata, namun ia menjadi berkah pasca kuliah dalam kehidupan masyarakat multikultural. Nah, sebenarnya esensi suatu pembelajaran adalah menyiapkan bekal mereka (peserta didik, red) dimasa yang akan datang agar memberikan manfaat bagi kehidupan kelak. Pembelajaran berorientasi pada nilai (angka) sudah saatnya ditinggalkan, disamping pembentukan karakter (kepribadian), mengikat makna dalam tulisan menjadi keniscayaan sebagimana ungkapan Sahabat Ali bin Abi Tholib “ikatlah ilmu dengan menulis”.

 

    Live in di Gereja Katolik Santo Yohanes Pemandi yang terletak di jalan janti-sukun Malang

 Live in: Cara Memahami Pluralitas

Mulai meramu pembelajaran, tatkala melihat keberagaman yang ada di kelas menjadi dorongan untuk memberikan pembelajaran yang baik dengan memperhatikan keberagaman (pluralitas) yang hidup di kampus multikultural. Pembelajaran keberagaman banyak ditemukan dalam aktivitas kehidupan kampus baik aktivitas keagamaan maupun kemahasiswaan.

Kendati demikian, merawat keberagaman tak hanya dicekoki berbagai teori. Mengajak untuk melihat secara langsung adalah kebutuhan dalam setiap individu agar keberagaman terpatri dalam sanubari individu. Untuk itulah, pada tanggal 17 Nopember 2019 pembelajaran matakuliah ini dilakukan dengan model Live in Gereja Katolik Santo Yohanes Pemandi. Momentum hari toleransi se-dunia (17/11) menjadi momen penting dalam membangun kesadaran kolektif akan keberagaman yang mesti kita rawat bersama. Setelah melihat secara langsung ibadah umat Katolik, kemudiaan dilanjutkan dialog atau sharing session bersama RD. Alfonsus Krismianto mulai bicara Gereja Katolik, Keuskupan, dan Paroki sampai 11 lingkungan Katolikan, termasuk konsep Tri Tunggal sebagai pembuka dalam sharing session. Terlihat sangat antusias mahasiswa untuk mengetahui bagaimana Katolik merawat keberagaman yang hakiki antar umat beragama.

Tak sedikit yang bertanya hal-ikhwal live in di Gereja yang dilakukan pada matakuliah ini. Ada yang datang dari mahasiswa, teman sejawat (dosen), teman akrab, bahkan ada yang berpotensi menghujat dalam bentuk pertanyaan. Misalnya; Apakah Anda menjamin setelah mereka dari gereja, lalu tidak pindah agama?,”ini pembelajaran mengarah pada pe-murtad-an”, ujarnya. Maklum, kekhawatir pertanyaan itu dilihat dari mahasiswa yang terlibat juga banyak yang muslim. Seolah saya melakukan kristenisasi atau menggiring pada liberalisme. Padahal, tak semudah itu melebelisasi seseorang murtad dan tidaknya. Kita mesti tahu hal-ikhwal apa maksud dan tujuan kegiatan itu dilakukan. Lalu mengapa perlu dilakukan dan esensi apa yang ingin dicapai? Jika itu diuraikan secara rasional dan objektif, maka sangat mungkin perbedaan tak lagi pertentangkan, perbedaan akan menjadi rahmat dengan perjumpaan nilai-nilai agama yang menyejukkan. Meminjam istilah Gus Dhofir dalam bukunya ‘Kondom Gergaji’ yang menyebutkan Hanya orang ‘bersumbu pendek’ dan ‘berotak cingkrang’ yang alergi dengan perbedaan.

Saya memiliki keyakinan, bahwa pindah agama bukan karena masuk gereja, bukan pula karena mengikuti Live In. keimanan lah yang akan mengoyahkan keyakinan kita dalam Beragama. Beragama tidak hanya legal-formal, spritualitas semata. Nilai keagamaan kita harus menjadi ruh dalam kehidupan beragama. Seperti yang ditegaskan KH. Said Aqiel Siradj (Ketua Umum PBNU), dalam buku ‘Membela Kebebasan Bergama’ karya Budhy Munawar-Rachman halaman 1399, “Semangat toleransi, saling menghargai, semangat pluralis antar umat beragama harus terus diperjuangkan dan dipupuk. Bukan hanya sikap toleran, tapi kita juga harus memahami budaya mereka. Artinya, multikulturalisme itu pun harus dijaga.” Ini mengingatkan pada kita bahwa Indonesia dibangun bukan atas nama agama, apalagi satu agama. Indonesia dibangun atas keberagaman yang tak banyak dimiliki oleh bangsa lain.

Keberagaman Indonesia merupakan sebuah anugerah dari Tuhan Yang Maha Adil dan Bijaksana. Indonesia yang indah akan terus memancarkan sinar keindahan ditengah masyarakat multikultural. Masyarakat yang terus mengibarkan panji-panji kedamaian dan ketentraman bagi keberlangsungan umat manusia agar senantiasa tercipta kehidupan toleran, pluralis, dan berkeadaban. Keberagama ini tentuk menjadi nilai dan harapan bagi Bangsa Indonesia dalam merajut benang persatuan sebagaimana yang diamanahkan dalam pancasila.

 

    Keceriaan bersama mahasiswa pasca melakukan Live In di Gereja Katolik Santo Yohanes Pemandi

Berakhir Mengembirakan Pasca Pembelajaran

            Tak banyak berharap dalam pembelajaran matakuliah ini. Sejak awal matakuliah ini menekankan pada pengembangan kepribadian (karakter). Matakuliah ini merupakan salah satu rumpun Matakuliah Pengembangan Kepribadian (MPK) yang wajib ditempuh setiap mahasiswa Universitas Kanjuruhan Malang (Unikama). Meski kadang, dalam pembelajaran harus memperhatikan kemampuan setiap individu, terutama kemampuan dalam memahami materi. Sehingga tak jarang, sebelum melakukan Live in, pembelajaran diupayakan berbasis diskusi film pendek seputar kehidupan pluralisme, toleransi agar lebih efektif dalam memahami sekaligus memaknai keberagaman yang ada disekitar kita.

            Dari Live in, yang bermula mereka canggung, resah dan gelisah, bahkan takut karena akan memasuki Gereja kali pertama bagi yang muslim. Tak hanya itu, was-was pun terus menghantui, penjelasan demi penjelasan saya lakukan baik dalam kelas, maupun melalui WhatsApp Group agar kegiatan bisa berakhir mengembirakan. Pertemuan dengan pihak Gereja terus dilakukan secara intensif agar maksud dan tujuan bisa tercapai dengan semangat yang sama.

            Berbuah manis meskipun tak semanis madu hutan. Dari pembelajaran selama satu semester, berbagai pengalaman yang mereka bawa dari kampung halaman hingga diafirmasi di kampus multikultural. Perlahan namun pasti, proses belajar, memahami, mengayomi, berdiskusi tak luput dari aktivitas pembelajaran. Diakhir perkuliahan mereka membuat opini atas pengalaman selama menempuh matakuliah ini atau hal lainnya yang terafirmasikan dengan matakuliah. Mereka menulis apa yang mereka rasakan sebelum menempuh matakuliah ini sampai pasca mengikuti perkuliahan selama 1 semester. Meminjam istilah Prof. Dr. Syamsul Arifin, metode ini sering disebut dengan The Most Significant Change, adalah salah satu metode untuk menilai keberhasilan sebuah program yang dilakukan. Metode ini kerap kali digunakan untuk mengevaluasi program-program yang diselenggarakan oleh NGO, khususnya yang berorientasi pada perubahan dan transformasi sosial tertentu.

            Menulis opini apa yang telah dirasakan atau bahkan perubahan apa yang terjadi menjadi penting untuk mengukur seberapa bermanfaat suatu matakuliah bagi kehidupan sekarang dan yang akan datang. Karena sekali lagi pada matakuliah ini tak hanya mengukur pada aspek kognitif semata, tapi internalisasi nilai (karakter) JATIDIRI dalam kehidupan sehari-hari menjadi hal yang terus kita dorong agar keberagaman ini terus terpupuk dan terjalin dengan baik antar umat beragama.

            Dari survey/kuisioner yang disebar usai semesteran, tepatnya 2 minggu setelah pelaksanaan UAS, maka didapatkan data dari 102 responden sebagai berikut; 55.9% matakuliah ini sangat bermanfaat untuk kehidupan yang datang, sementara pembelajaran model Live In sangat menarik hingga mencapai 57.8%, dan materi yang disajikannya pun 54.9% sesuai dengan kehidupan dimasyarakat. Banyak pula yang memberikan saran konstruktif pada pembelajaran matakuliah ini, misalnya; lebih banyak kegiatan Live In untuk menambah wawasan dan toleransi terhadap agama lain, ada yang menginginkan matakuliah ini ditempuh pada semester awal, dan mereka berharap matakuliah ini lebih banyak melakukan aktivitas diluar kelas terutama dalam membangun keberagaman. Data tersebut setidaknya menjadi evaluasi bagi saya secara pribadi agar terus berinovasi dalam pembelajaran yang akan datang lebih bermakna dan mengembirakan.

Sepuluh kelas yang saya ampu, tak surut sedikitpun semangat untuk membaca tulisan (tugas opini) mereka yang mendarat di meja kerja. Beragam tulisan, mulai dari hanya sekedar mengumpulkan, hingga serius menuliskan pengalaman demi pengalaman mulai dari kampung halaman, hingga realitas kehidupan di kampus mereka potret dengan bahasa sendiri. Dari membaca dan memahami (koreksi) ada sekitar 30 tulisan (opini) yang menarik, inspiratif, dan sarat dengan pesan moral, meski beberapa tulisan harus ‘dipermak’ kembali agar lebih tertata dan lebih pantas menjadi buku ontologi yang kemudian diberi judul ‘Merajut Keberagaman: dari kampung halaman sampai kampus multikultural’.

Buku yang tengah ada ditangan Anda merupakan buah pembelajaran Matakuliah Jatidiri Kanjuruhan selama satu semester (Ganjil 2019/2020) yang dirasa penting untuk menjadi bukti nyata keberadaan matakuliah sangat memberikan dampak positif (The Most Significant Change) pada perubahan baik pola pikir, pola sikap, pola rasa dalam menghidupkan kembali nilai-nilai keberagaman berdasarkan Ideologi Pancasila ditengah masyarakat multikultural ini.

Pada akhirnya, saya berterima kasih pada Bapak E. Kukuh Widijatmoko Ketua Komisi Kerasulan Awam Keuskupan Malang yang juga Dosen Pendidikan Agama Katolik Unikama yang menghibahkan waktunya untuk memberikan epilog pada buku ini, koordintor MPK, BapaK Suryantoro yang mempercayai saya untuk mengampu matakuliah ini. Tak terlupakan pada segenap sivitas Unikama yang terus memberikan dorongan dan kepercayaan pada saya sebagai dosen pemula yang terus belajar dengan keadaan dan diterpa dengan waktu bertubi-tubi. Dan yang paling membanggakan seluruh mahasiswa yang menempuh matakuliah ini, tetap semangat pagi, belajar lah diluar ruang kelas, tak hanya dalam kelas. Terus benturkan dirimu dengan kegiatan yang berdampak pada pengembangan diri yang lebih baik dan bermartabat. Hampir terlupakan segenap Tim Pusat Studi Pancasila dan Multikultural (PSPM) Unikama yang banyak memberikan ruang diskusi, pencerahan dalam meramu pembelajaran, khususnya Bapak I Wayan Legawa yang juga Kepala PSPM turut andil dalam kegiatan Live in di Pura Dwijawarsa Buring Malang yang berlangsung penuh kegembiraan dan berakhir makan-makan.

Demikian kata pengantar sederhana ini, semoga kita semua, khususnya para pembaca, mendapatkan pencerahan dan inspirasi dari narasi-narasi sederhana yang disajikan oleh para author (penulis) yang merupakan mahasiswa dari berbagai program studi dan angkatan yang notabene masih butuh bimbingan dari waktu ke waktu untuk terus belajar, menulis, dan belajar. Saya ucapkan selamat dan tahniah atas terbitnya buku ini. Selamat membaca…semoga mengembirakan kita semua…


*Romadhon adalah Dosen Pengampu Matakuliah Jatidiri Kanjuruhan di Unikama