Flash News
Diberdayakan oleh Blogger.
Mail Instagram Pinterest RSS
Siapa Romadhon?

Keynote Speaker: Kuliah Kebangsaan dengan Tema "Menenun Asa, Menjaga Pancasila" -- Program Studi PPKn Unikama

 


Yth. Wakil Rektor Bidang Akademik dan Kemahasiswaan-Unikama, Dr. Choirul Huda, M.Si

Yang Kami Hormati Dekan Fakultas Ilmu Pendidikan-Unikama, Dr. Cicilia Ika Rahayu Nita, M.Pd

Yang kami hormati Para Ketua Program Studi dan seluruh dosen di lingkungan FIP Unikama

Yang Kami Hormati Ketua Program Studi PPKn Universitas Nusantara PGRI, Yunita Dwi Pristiani, S.Pd., M.Sc dan Rombongan

Yang kami hormati Ketua Pengurus Pusat Majelis Ansarullah Jemaat Ahmadiyah Indonesia beserta rombongan

Yang kami hormati Ketua Majelis Ansarullah Jemaat Ahmadiyah Indonesia, Jawa Timur 3, Dr. Waji, M.Pd

Yang kami hormati Ketua peace leader Indonesia beserta rombongan

Yang kami hormati Presidium Forum Komunikasi Antar Umat Beragam (FKAUB) Malang beserta pengurus, dan

Yang kami banggakan panitia dan seluruh peserta kuliah kebangsaan, aplausss untuk kita semuanya ….

 


Assalamualaikum Wr…Wb

Semangat Pagi, Salam Sejahtera, Shaloom, Om Swastiastu, Namu Budaya, Salam Kebajikan

Kesempatan pagi yang berkah ini tak banyak dirasakan oleh yang lainnya, maka sudah sepantutnya kita bersyukur bias hidup di negara yang demokratis, berhaluan Pancasila sebuah anugerah dari Yang Maha kuasa, Barang siapa yang pandai bersyukur atas nikmatNya, niscaya Tuhan akan melipatgandakan kenikmatan itu.

Kegiatan yang mengusung tema “Menenun Asa, Menjaga Pancasila”yang berlangsung di Auditorium ini atas kerjasama yang yang kuat ditengah keterbatasan penyelenggara, tentu kami mohon maaf yang tak terhingga atas keterbatasan itu, dan kami berterima kasih pada mitra kami, Program Studi PPKn UNP Kediri, Peace leader Indonesia yang komitmennya untuk mendiskusi fenomena kebangsaan akhir-akhir ini terutama pasca pemilu 2024.

Hal lain, kami sangat berterima kasih kepada Majelis Ansarullah Jemaat Ahmadiyah Indonesia yang telah bersedia mensupport kegiatan ini sebagai bagian tak terpisahkan tagline semangatnya Love For All Hatred For None”, Cinta pada semuanya, tak ada benci pada siapa pun. Atau dalam istlah dakwah NU lebih dikenal Islam yang Rahmatan lil alamin.


Hadirin sekalian yang berbahagia,

Siapa …. Kita …(Indonesia)

Siapa …. Kita …(Pancasila)

Pancasila …. Jaya … Jaya … Jaya

Unikama … Satu untk Semua

Tema perbincangan kali ini, bukan semata-semata mengangkat hal ihwal ideologi Pancasila dan histori semata. Namun, lebih mengikhtiarkan bagaimana nilai-nilai Pancasila ini terejawantahkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, terlebih dalam kehidupan kampus yang multikultural ini. Seperti yang banyak kita ketahui nilai Pancasila kerap kali hanya dipahami, namun minim implementasi. Sehingga yang terjadi politisasasi Pancasila yang tak terlepas dari kepentingan oligarki yang sudah mengakar di republik ini.


Hadirin sekalian yang berbahagia,

Kita sebagai bagian tak terpisahkan dari yang menghidupkan nilai-nilai Pancasila itu sendiri, tentu kita bertekad sebagai moral force yang memberikan harapan besar bagi berlangsungnya kehidupan kebangsaan yang lebih berkeadilan dengan memegang teguh prinsip-prinsip kemanusiaan. Sebagaimana Gusdur Tokoh NU yang mendunia telah berpesan kepada kita, “Tidak penting apa agama dan sukumu, kalau kamu bisa melakukan sesuatu yang baik untuk semua manusia, maka orang tidak pernah tanya apa agamamu”. Ini bukan sekedar fatwa seorang tokoh, namun ini menjadi beban moral bagi kita yang ngakunya beragama secara kaffah (total), namun miskin pada sisi kemanusiaan. Atau istilah lain, senang melihat orang lain susah, susah melihat orang lain senang. Inilah yang kemudian perlu direkonstruksi cara beragama agar lebih inklusif demi tegaknya nilai-nilai kemanusiaan.


Hadirin sekalian yang berbahagia,

Pancasila dalam pandangan NU (lag-lagi saya berkapisatas sebagai pengurus LP. Ma’arif NU Kota Malang) perlu kiranya mengingatkan kembali kepada siapapun dan dimanapun. Bagi NU, sebagaimana hasil deklarasi Alim Ulama NU di Situbondo, 1983 yang menyatkan bahwa; pertama, Pancasila sebagai dasar dan falsafah Negara Republik Indonesi bukanlah agama, tidak dapat menggantikan agama dan tidak dapat dipergunakan untuk menggantikan kedudukan agama. Kedua, Sila Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai dasar Negara Republik Indonesia menurut pasal 29 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945, yang menjiwai sila-sila yang lain, mencerminkan tauhid menurut pengertian keimanan dalam Islam. Ketiga, bagi NU Islam adalah akidah dan syari’ah, meliputi aspek hubungan manusia dengan Allah dan hubungan antar manusia. Keempat, penerima dan pengamalan Pancasila merupakan perwujudan dari upaya umat Islam Indonesia untuk menjalankan syari’at agamanya. Kelima, sebagai konsekuensi dari sikap di atas, NU berkewajiban mengamankan pengertian yang benar tentang Pancasila dan pengamalannya yang murni dan konsekuen oleh semua pihak.


Hadirin sekalian yang berbahagia,

Deklarasi ini menjadi tentu menjadi bukti riil bahwa Pancasila memiliki substansi yang sejalan dengan Islam. Menurut Ali Haidar, (1994) Penerimaan NU terhadap Pancasila baik sebagai asas tunggal organisasisnya maupun sebagai dasar negara dapat disimpulkan pada dua hal. Hal yang pertama, karena nilai-nilai yang terkandung dalam pancasila itu sendiri merupakan sesuatu yang baik (maslahat). Kedua, karena fungsinya sebagai mitsaq (piagam perjanjian). Yakni sebuah kesepakatan, antara umat Islam dengan golongan lain di Indonesia untuk mendirikan negara. Maka bagi saya, Pancasila kedudukannya sama dengan kitab suci. Pada sisi lain, Pancasila dan Kitab Suci sama-sama tak bisa direvisi, tapi keduanya sama-sama berpotensi dikritisi. Artinya keberadaan Pancasila terus memberikan asa bagi siapa saja yang mencintai bangsanya. Kita sudah lama berPancasila, bahkan belasan sampai puluhan tahun. Namun, Pancasila sampai saat ini masih seputar hafalan pada sila-sila itu sendiri. keringnya aktualisasi nilai Pancasila masih dirasakan di bangku-bangku kuliah. Pancasila hanya sebatas menjadi matakuliah yang diukur dengan deretan angka di akhir semester. Angka yang banyak diharapkan kemanjurannya (baca: lulus). Padahal, lebih dari pada itu, menghidupkan dengan berbagai projek dan model tak pernah habis dalam kontek kekinian mestinya lebih diutamakan. Sehingga “the most significant change” bisa memberikan dampak besar dalam menyiapkan para sarjana yang bukan saja bergelar, tapi mampu bergetar. Karena keberadaanya menjadi penyanggah kokoh Ideologi Pancasila.


Hadirin sekalian yang berbahagia,

Pada bagian akhir ini, saya segaja untuk menyampaikan berbagai tulisan yang renyah dan gurih dari cendikiawan yang telah banyak menularkan ide-ide segarnya. Yudi Latif, seorang cendekiawan yang tak habis-habisnya mengupas soal Pancasila dari hulu ke hilir. Terakhir menjabat Ketua Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila (2017-2018) yang saat ini Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP). Dalam bukunya, Wawasan Pancasila (2018) Yudi Latif memaparkan secara komperehensif bahwa Pancasila sebagai ideology Negara dan kepribadian bangsa lebih sering didaku (diklaim) ketimbang diamalkan. Verbalisme mewarnainya, melahirkan sinisme dan melunturkan kepercayaan umum terhadap kekuatan dan relevansi nilai-nilainya. Setelah lebih dari setengah abad Pancasila diidealisasikan sebagaidasar dan haluan bernegara, keampuhan Pancasila dihadapkan pada ujian sejarah ketika negeri ini mengalami krisis nilai dan orientasi. Ada kesenjangan yang lebar antara idel-ideal Pancasila dengan realitas dan praktik kehidupan berbangsa dan bernegara.

Kehidupan negeri diliputi rangkaian bentrokan identitas yang membawa kemunduran dalam solidaritas kebangsaan globalisasi membawa cengkeraman korporasi internasional yang makin luas dan dalam, kehidupan politik kehilangan panduan rasionalitas dan moralitas, sedangkan gempita demokrasi procedural tidak diikuti demokrasi ekonomi berkeadilan sosial. Berbagai persoalan tersebut dikemukakan sekedar untuk melihat apakah nilai-nilai Pancasila masih relevan atau telah diusangkan perkembangan zaman? Masih adakah asa agar Pancasila mengudarasepanjang masa?


Hadirin sekalian yang berbahagia,

Dalam situasi seperti itulah nilai-nilai Pancasila memerlukan pembudayaan yang lebih ampuh. Dalam ikhtiar membudayakan Pancasila, kesenjangan antara ideal-ideal dan kenyataan perlu dijembatani pedoman atau penuntun pembudayaan, yang didahului pemahaman secara mendasar akan konsep-konsep pokok Pancasila itu sendiri. Dengan pedoman pembudayaan itu, bukan saja revitalisasi dan reaktualisasi pemahaman Pancasila yang dihadirkan, melainkan menjadi rujukan dalam menginternalisasikan sila-sila di kehidupan berbangsa dan bernegara.

Lebih lanjut, Yudi Latif yang saat ini aktif di forum Aliansi Kebangsaan menegaskan tali kendali dari semua usaha pembudayaan itu adalah mengembalikan Pancasila pada api semangatnya, yakni semangat gotong royong. Setiap sila dan konsepsi Pancasila harus diterjemahkan dalam kerangka semangat gotong royong. Dalam artian menempatkan sila-sila Pancasila sebagai “kaidah emas”dalam kehidupan bangsa yang majemuk.


Hadirin sekalian yang berbahagia,

Itulah sebabnya kita perlu menenun asa, agar marwah Pancasila terus menyinari bumi pertiwi. Pancasila mampu memperjumakan persamaan, bukan mempertajam perbedaan. Perlu menentukan titik temu agar semua komponen bangsa bisa meramu apa yang cita-citakan oleh pendiri bangsa.

Semoga kuliah kebangsaan ini menjadi lokomotif pergerakan dalam memperkuat persatuan, dan mengokohkan tradisi ke-Indonesia-an. Sekali lagi..mohon maaf yang setinggi-tingginya, dan terima kasih pada narasumber yang menghibahkan waktunya untuk bersama-sama mendiskusikan persoalan bangsa.

Siapa …. Kita …(Indonesia)

Siapa …. Kita …(Pancasila)

Pancasila …. Jaya … Jaya … Jaya

Unikama … Satu untk Semua

 

Wassalamualaikum Wr. Wb